Portalindo.co.id-@mr
Jakarta, 23 April 2020 - Kita lihat dalam perkembangan radikalisme Indonesia mempunyai gerakan bawah tanah atau lewat media sosial bukan dengan cara terang-terangan, hal tersebut di katakan oleh Zuhairi Misrawi, Tokoh dari Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU).
"Mereka mempunyai kurang lebih 300 media sosial, kita sebagai kelompok moderat masih dirasa terlambat. Kenapa cyber ini digunakan sebagai senjata menyebar radikalisme karena sekarang sudah masuk di era teknologi apalagi dimasa covid-19 ini.Katanya
Hal tersebut di sampaikan Zuhairi Misrawi dalam kegiatan Tolk Show online dengan tema Cyber Radikalisme Menyasar Milenial yang diselenggarakan oleh Jaringan Literasi Santri Jakarta, pada 23 April 2020.
Ia juga mengatakan bahwa ada 5 hepotesa cyber radikalisme yakni :
1). Internet merupakan medan baru yang mungkin dapat dijadikan instrumen.
2). Internet dapat dijadikan ruang menuangkan ide.
3). Memudahkan penyebaranya.
4). Memungkinkan menyebarkan radikalisme tanpa melalui perjumpaan fisik.
5). Memungkinkan seseorang menyebarkan radikalisme secara mandiri (self-radikalisme)
Seseorang dapat melihat media sosial secara bebas, jika wajah Negara ini dapat digambarkan melalui media sosial, kita dapat menggambarkanya bagaimana wajah sesungguhnya Bangsa ini. Ungkap Zuhairi Misrawi yang juga Direktur Moderate Muslim Society dan ketua PP Baitul Muslimin.
"Jalan keluar dari radikalisme yaitu penegakan hukum, bagaimana kominfo bersinergi dengan instrumen lainya. Deradikalisasi mereka yang masih memiliki ideologi ekstrim dan radikal, BNPT harus lebih fokus deradekalisasi kelompok ekstrim ini dengan lebih tegas lagi.
Selain penegakan hukum yang tegas dapat dilakukan dengan Radikalisasi Pancasila terhadap seluruh lapisan masyarakat yang telah di gagas oleh Kuntowijoyo.Dan Pancasila is cyber itu juga dapat menjadi counter radikalisme."Tegasnya.
Lebih lanjut, seperti yang dilakukan presiden saat ini untuk menghafal dan memberi pertanyaan tentang Pancasila itu kurang optimal, yangharus di dorong itu radikalisasi Pancasila , salah satu prakteknya seperti banser menjaga gereja ini termasuk radikalisasi Pancasila.Katanya lagi.
Adapun Romzi Ahmad, dari Education Director of Al-Shighor Foundation menyampaikan, bahwa membahas Cyber radikalisme di era sekarang ini terutama di kalangan milenial bukan hanya terkait ideologi, seperti di Amerika, tapi masih adanya perbedaan kulit juga masih marak dilakukan, ini juga termasuk contoh radikalisme.
Dan hadirnya covid-19 ini benar-benar merubah aspek di masyarakat terutama pada aspek keagamaan bangsa. kata Romzi.
"Kemudian keadaan ini apakah dimanfaatkan oleh akun radikalis untuk menyebarkan konten radikalisme?...
Sebelumnya radikalisme ini menyasar kaula muda karena kaum muda ini mempunyai kefanatikan yang besar, dan penikmat media sosial kebanyakan kaula muda."Tandas Romzi Ahmad.(amr/Red)